
Irama ombak yang menampar sisi perahu kembali menjamu hadirku di lautan ini. Auman birunya masih sama telak sejak terakhir kali jari-jemari anggunmu mencekam pegangan kayu yang suah terlihat usang dan mulai tak berbentuk rapi.
Dengan gaun panjang putih dan rasa ria yang terpatri, rupamu saat itu bagai menari di atas hembusan mara tersembunyi. Sekalipun burung cikalang di langit menatap sinis dan mengutuk yang sedang dilanda kasih, kamu tetap tak ada hentinya mencumbu aib dan lukaku yang tabiatnya abadi.
Satu per satu lafalan filantropi kamu lisankan sepanjang jalur nadi, tak memberikan celah satu pun bagiku untuk mengacuhkannya lagi. Helaian rambut panjang nan elok bersatu dengan derasnya angin petang, bahkan benaman matahari pun tak mampu membandingi paras juita milikku ketika suara nafasnya tak putus dan berhenti.
Memang, damai yang kita bawa di sudut lautan saat itu menyamai nirwana lestari, sedang yang hanya aku bawa sendiri adalah sunyi yang memekik pasti. Andai saja rinduku dapat dibayar dengan mati, kupastikan tubuhku membumi dengan dalamnya lautan saat ini.